Karakter para penerus generasi bangsa kini kian
memprihatinkan. Oleh karena itu, dibangun kembali dengan mengadakan pembentukan
karakter. Pembentukan karakter tersebut dapat dibangun sejak dini. Hal itu dilakukan untuk memberikan benteng kepada mereka agar tidak mudah
terpengaruh oleh hal-hal yang berbentuk negatif. Proses pembentukan karakter
tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga pendidikan
atau lembaga sosial yang menangani secara khusus pembentukan karakter pada
anak.
Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan
memberikan anak kepada lembaga yang berhubungan erat dengan pembentukan
karakter tetapi masih dalam lingkup dunia
pendidikan. Pendidikan
yang mengawali pembentukan karakter tersebut antara lain dapat dilakukan di
Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar.
Pendidikan pada tahap dasar memiliki peran yang sangat stategis dalam
membangun, membentuk, membina dan mengarahkan anak didik menjadi manusia yang
seutuhnya. Manusia yang memiliki karakter dan kepribadian yang positif,
manusia yang mampu memahami diri sendiri dan orang lain, manusia yang terampil
hidupnya, manusia yang mandiri dan bertanggung jawab, dan manusia yang mau dan
mampu berperan serta dan bekerja sama dengan orang lain.
Pada tingkat
Sekolah Dasar pemisahan antara fungsi teknis pendidikan di bawah naungan
Depdiknas dan fungsi administrasi pendidikan di bawah Pemda setempat
menunjukkan adanya dualisme dalam penyelenggaraan Sekolah Dasar yang sangat
tidak praktis dan efisien, karena sering terbentur oleh perbedaan kepentingan
antar instansi yang diwarnai dengan keinginan yang berlebihan untuk mengambil
peranan manajerial dan tanggung jawab atas sekolah-sekolah.
Adanya dualisme
manajemen pendidikan dasar tersebut dikarenakan tidak adanya keterpaduan antara
pembinaan teknis dengan pengelolaan Sekolah Dasar. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa yang dirugikan dalam kerancuan pengelolaan ini ialah mutu
pendidikan Sekolah Dasar, sehingga mutu pendidikan di Sekolah Dasar sulit untuk
ditingkatkan. Sistem pengelolaan pendidikan akan sangat menentukan efektif atau
tidaknya kurikulum, berbagai peralatan belajar, waktu dan proses mengajar itu
sendiri dalam proses belajar yang pada akhirnya akan menghasilkan output pendidikan
dasar yang sesuai dengan harapan.
Terlepas dari
masalah yuridis, terdapat dua pola pemikiran atau asumsi yang mendominasi
kontraversi ini Pertama, mutu pendidikan akan dapat ditingkatkan apabila
ditangani secara efisien. Kedua, pendidikan khususnya pada pendidikan dasar
yang merupakan kebutuhan dasar dari setiap warganegara, merupakan kewajiban
pemerintah dalam hal ini unit pemerintah yang paling dekat, untuk melaksanakannya.
Kontroversi
yang timbul dewasa ini mengenai manajemen sekolah dasar bersumber dari dua
asumsi yang berasal dari dua pemikiran yang berbeda. Pertama menggunakan PP No.
28 Tahun 1990 sebagai pedoman dan berpegang kepada UU No. 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Kedua sudut pandang tersebut memang boleh
digunakan karena dilihat dari segi hukum keduanya sama-sama benar, hanya saja
menurut Suryosubroto permasalahan dalam manajemen pendidikan dasar disebabkan
karena:
a)
Pendidikan
dasar merupakan hak asasi manusia Indonesia, sesuai dengan UUD-45 pasal 31 yang
menyatakan bahwa setiap warganegara berhak memperoleh pendidikan. Oleh sebab
itu, pelaksanaannya tidak dapat terhalang oleh peraturan perundangan yang
berada dibawahnya.
b)
Masalah
manajemen pendidikan, khususnya pendidikan dasar, bukan hanya sekedar merupakan
masalah yuridis, tetapi lebih dari itu karena berkenaan dengan anak Indonesia
yang justru akan memperoleh pendidikannya yang sangat mendasar bagi
kelangsungan hidup bernegara.
c)
Desentralisasi
atau sentralisasi pelaksanaan proses pendidikan, kedua cara pendekatan itu
perlu didudukkan dalam rangka usaha mencapai keberhasilan dari proses
pendidikan itu sendiri. Pendekatan desentralisasi maupun sentralisasi keduanya
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu, dalam
implementasinya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Masalah
pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar memang tidak bisa lepas dari
masalah kebijakan pemerintah, karena menyangkut kebutuhan dasar rakyat.
Penanganan kebutuhan dasar memerlukan pendekatan yang sedekat-dekatnya dengan
rakyat. Partisipasi dari rakyat selama ini masih sangat kurang, sehingga
penyelenggaraan pendidikan dasar dirasakan sebagai kewajiban pemerintah bukan
sebagai kewajiban seluruh rakyat, jadi tidak mengherankan apabila
penyelenggaraan pendidikan dasar di seluruh dunia dikaitkan dengan masalah
otonomi daerah yang meliputi hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sejalan dengan
dikeluarkannya kebijakan tentang otonomi daerah di kota dan kabupaten,
selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan kebijakan tentang otonomi pendidikan
di sekolah dengan pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, melalui Undang-undang
No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 butir 1 yaitu:
“Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah.”
Usia anak MI/SD
adalah masa dimana anak itu mulai belajar di luar lingkungan keluarga. Pada
saat itu, anak-anak usia MI/SD mudah menangkap pendidikan termaksud pendidikan
agama. Hal itulah yang mendasari betapa pentingnya penelaahan dan penelitian
dilakukan sehingga kita tidak akan melakukan kesalahan-kesalahan fatal dalam
membentuk karakter anak yang tentunya akan menjadi penerus kita menjadi
khalifah di muka bumi ini kelak. Menjadi khalifah atau pemimpin itu adalah
sebuah tanggung jawab besar yang akan dimintai pertanggungjawabanya kelak,
sehingga kita perlu membekali dengan segala persiapan sedini mungkin terhadap
anak yang notabenenya akan menjadi penerus kita kelak.
Pendidikan
agama sebagai acuan dalam pembentukan karakter haruslah ditanam sejak dini,
karena pendidikan agama sangat penting untuk tumbuh kembang jiwa anak. Dengan
agama yang berlandaskan akidah dan akhlaq dapat mengarahkan perilaku anak
maupun remaja ke perilaku yang baik. Dengan pendidikan agama tentunya
diharapkan adanya implikasi dari rasa agama anak dan remaja yang baik juga.
Pendidikan
agama islam memberikan dan mensucikan jiwa serta mendidik hati nurani dan
mental anak-anak dengan kelakuan yang baik-baik dan mendorong mereka untuk
melakukan pekerjaan yang mulia. Karena pendidikan agama islam memelihara
anak-anak supaya melalui jalan yang lurus dan tidak menuruti hawa nafsu yang
menyebabkan nantinya jatuh ke lembah kehinaan dan kerusakan serta merusak
kesehatan mental anak.
Madrasah Ibtidaiyah adalah sekolah setara dengan sekolah dasar yang di
dalamnya memberikan materi umum dan juga materi yang berhubungan dengan agama.
Dalam madrasah tersebut lebih banyak diberikan materi keagamaan. Oleh karena
betapa pentingnya peran pendidikan agama dalam pembentukan karakter siswa,
membuat Madrasah Ibtidaiyah pun juga memiliki peran penting pula dalam
membentuk karakter anak sejak dini.
Meskipun Madrasah Ibtidaiyah memiliki peran penting dalam pembentukan
karakter anak sejak dini, hal ini bukan berarti menyaingi eksistensi Sekolah
Dasar. Di Sekolah Dasar juga bisa diterapkan pembentukan karakter, yaitu
apabila guru agama di SD mampu membina sikap positif terhadap agama dan
berhasil dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk mengembangkan
sikap itu pada masa remaja muda dan si anak telah mempunyai pegangan atau bekal
dalam menghadapi berbagai goncangan yang biasa terjadi pada masa remaja.
Realita yang ada saat ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang
lebih mempercayakan anaknya untuk sekolah di SD daripada MI. Dengan dalih
Madrasah Ibtidaiyah penuh dengan materi-materi pelajaran sehingga ditakutkan
anak kurang bisa optimal dalam menguasai materi pelajaran yang terlalu banyak,
selain itu juga yang sering mendapat perhatian dari pemerintah dan mendapat
bantuan adalah SD dengan titlenya yang
hampir semuanya adalah sekolah dasar negeri. Padahal perkembangan madrasah
berlangsung sangat cepat.
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah Ibtidaiyah yang kebanyakan swasta berubah statusnya menjadi madrasah ibtidaiyah negeri. Alhasil, ada 123 MI yang menjadi madrasah negeri.
Di tahun 1966, pemerintah mengizinkan madrasah Ibtidaiyah yang kebanyakan swasta berubah statusnya menjadi madrasah ibtidaiyah negeri. Alhasil, ada 123 MI yang menjadi madrasah negeri.
Secara legal,
madrasah ibtidaiyah sudah
terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional sejak di-berlakukannya
Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Perkembangan madrasah kemudian berlangsung cepat. Di tingkat MI, siswanya
mencapai 11 persen dari total siswa tingkat dasar. Di tahun 1999, terdapat
21.454 MI dan sekitar 93,2 persennya diselenggarakan oleh pihak swasta.
Melihat kenyataan tersebut sudah tidak diragukan lagi bahwa Madrasah dalam
hal ini Mandrasah stingkat Ibtidaiyah (MI) memiliki kontribusi nyata dalam
pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, Madrasah memiliki pengalaman yang
luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, Madrasah mampu
meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki
masyarakat di sekelilingnya.
Proses
pengembangan dunia Madrasah dalam hal ini Madrasah setingkat Ibtidaiyah (MI)
selain menjadi tanggung jawab internal Madrasah, juga harus didukung oleh
perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan
mengembangkan peran serta Madrasah dalam proses pembangunan merupakan langkah
strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih,
dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Madrasah sebagai
lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus
menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga,
pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Merujuk pada
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi
dan keberadaan Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebenarnya memiliki tempat yang
istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim.
Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan
usia perkembangan Madrasah di Indonesia. Keistimewaan Madrasah dalam sistem
pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal
dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di Madrasah. Madrasah sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di Madrasah. Madrasah sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Secara khusus,
ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30
Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk
agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan
berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah,
Madrasah, dan bentuk lain yang sejenis.
Bahkan dalam PP
RI NOMOR 19 th. 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN Standar Kompetensi
Lulusan di jelaskan pada pasal 26 ; Standar kompetensi lulusan pada jenjang
pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian akhlak mulia serta ketrampilan unutk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut. Dalam kaitan tersebut diatas Keberadaan Madrasah Ibtiaiyah (MI) menjadi
sangat strategis dalam hal pembinaan Akhlak mulia karena sejak awal Madrasah
Ibtidaiyah (MI) telah koncern dalam pembinaan Akhlak dan moral para peserta
didiknya.
Sumber : http://maulawiyah.blogspot.com/
By : Maulawiyah
0 comments:
Posting Komentar