Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.
Pengantar
Sejak awal kedatangannya ke Indonesia, pada abad ke-6 M, Islam telah
mengambil peran yang amat siginifikan dalam kegiatan pendidikan. Peran
ini dilakukan, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut.
Pertama, Islam memiliki karakter sebagai agama dakwah dan
pendidikan. Dengan karakter ini, maka Islam dengan sendirinya
berkewajiban mengajak, membimbing, dan membentuk kepribadian ummat
manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan inisiatifnya
sendiri, ummat Islam berusaha membangun sistem dan lembaga pendidikan
sesuai dengan keadaan zaman, seperti pesantren, madrasah, majelis ta’lim
dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini telah dilahirkan para
ulama, tokoh agama, para pemimpin masyarakat yang telah memberiikan
sumbangan yang besar bagi kemajuan bangsa.
Kedua, terdapat hubungan simbiotik fungsional antara ajaran
Islam dengan kegiatan pendidikan. Dari satu sisi Islam memberikan dasar
bagi perumusan visi, missi, tujuan dan berbagai aspek pendidikan,
sedangkan dari sisi lain, Islam membutuhkan pendidikan sebagai sarana
yang strategis untuk menyampaikan nilai dan praktek ajaran Islam kepada
masyarakat. Adanya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam
adalah sebagai bukti keberhasilan pendidikan dan dakwah Islamiyah.
Ketiga, Islam melihat bahwa pendidikan merupakan sarana yang
paling strategis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam
berbagai bidang kehidupan. Itulah sebabnya tidak mengherankan, jika ayat
1 sampai dengan 5 surat al-’Alaq, sebagai ayat al-Qur’an yang pertama
kali diturunkan, telah mengandung isyarat tentang pentingnya pendidikan.
Ayat 1 sampai dengan 5 surat al-’Alaq tersebut artinya: ”Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu. Yang telah menjadikan manusia dari segumpal
darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Mulia. Yang telah mengajarkan
manusia dengan pena. Ia mengajarkan manusia tentang segala sesuatu yang
belum diketahuinya”. Pada ayat tersebut paling kurang terdapat lima
aspek pendidikan: 1)Aspek proses dan metodologi, yaitu membaca dalam
arti yang seluas-luasnya: mengumpulkan informasi, memahami,
mengklasifikasi atau mengkategorisasi, membandingkan, menganalisa,
menyimpulkan dan memverifikasi. 2)Apek guru, yang dalam hal ini Alllah
SWT; 3)Aspek murid, yang dalam hal ini Nabi Muhammad SAW dan ummat
manusia; 4)Aspek sarana prasarana, yang dalam hal ini diwakili oleh kata
qalam (pena); dan 5)Aspek kurikulum, yang dalam hal ini segala sesuatu
yang belum diketahui manusia (maa lam ya’lam). Kelima hal tersebut
merupakan komponen utama pendidikan.
Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pendidikan Islam telah
menampilkan dirinya sebagai pendidikan yang fleksibel, responsif,
sesuai dengan perkembangan zaman, berorientasi ke masa depan, seimbang,
berorientasi pada mutu yang unggul, egaliter, adil, demokratis, dinamis,
terbuka, sepanjang hayat dan seterusnya. Sesuai dengan sifat dan
karakternya yang demikian itu pendidikan Islam senantiasa mengalami
inovasi dari waktu ke waktu, yaitu mulai dari sistem dan lembaganya yang
paling sederhana seperti pendidikan di rumah, surau, langgar, mesjid,
majelis ta’lim, pesantren dan madrasah, sampai kepada perguruan tinggi
yang modern. Inovasi pendidikan Islam juga terjadi hampir pada seluruh
aspeknya, seperti kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pengajar,
sarana prasarana, manajemen dan lain sebagainya. Melalui inovasi
tersebut, kini pendidikan Islam yang ada di seluruh dunia (termasuk di
Indonesia) amat beragam, baik dari segi jenis, tingkatan, mutu,
kelembagaan dan lain sebagainya. Kemajuan ini terjadi karena usaha keras
dari ummat Islam melalui para tokoh pendiri dan pengelolanya, serta
pemerintah pada setiap negara.
Era Globalisasi
Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai
oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, teknologi, informasi dan lain sebagainya, yang terjadi
antara satu negara dengan negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas
negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan teknologi
informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau mengkomunikasikan setiap
issu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.
Bagi ummat Islam, era globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar
menukar dan transmisi ilmu pengetahuan, budaya dan sebagainya
sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya bukanlah hal baru.
Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi ummat Islam, merupakan hal
biasa. Di zaman klasik (abad ke-6 sd 13 M.) ummat Islam telah membangun
hubungan dan komunikasi yang intens dan efektif dengan berbagai pusat
peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, China,
Persia, Romawi, Yunani dan sebagainya. Hasil dari komunikasi ini ummat
Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama
Islam, melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan
peradaban, yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini, seperti
di India, Spanyol, Persia, Turki dan sebagainya.
Selanjutnya di zaman pertengahan (abad ke 13-18 M.) ummat Islam telah
membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Pada saat itu ummat Islam
memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa
penulis Barat seperti W.C.Smith, dan Thomas W. Arnold misalnya,
mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan Barat saat ini
karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu
pengetahuan dan perabadan Islam tanpa harus menjadi orang Islam.
Pada
zaman pertengahan itu, ummat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja.
Sementara ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, sosiologi,
kedokteran dan lainnya tidak dipentingkan, bahkan dibiarkan untuk
diambil oleh Erofa dan Barat. Pada zaman ini Eropa dan Barat mulai
bangkit mencapai kemajuan, sementara ummat Islam berada dalam
keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.
Di zaman modern (abad ke-19 sampai dengan sekarang) hubungan Islam
dengan dunia Eropa dan Barat terjadi lagi. Pada zaman ini timbul
kesadaran dari ummat Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam
bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban melalui berbagai
lembaga pendidikan, pengkajian dan penelitian. Ummat Islam mulai
mempelajari kembali berbagai kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat,
dengan alasan bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat itu
sesungguhnya mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki ummat Islam.
Namun demikian, hubungan Islam dengan Eropa dan Barat dimana sekarang
keadaannya sudah jauh berbeda dengan hubungan Islam pada zaman klasik
dan pertengahan sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik dan
pertengahan ummat Islam dalam keadaan maju atau hampir menurun,
sedangkan keadaan Eropa dan Barat dalam keadaan terbelakang atau mulai
bangkit. Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam kemajuan,
sedangkan keadaan ummat Islam berada dalam ketertinggalan. Tidak hanya
itu saja, keadaan dunia saat ini telah dipenuhi oleh berbagai paham
ideologi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, seperti
ideologi capitalisme, materialisme, naturalisme, pragmatisme,
liberalisme bahkan ateisme yang secara keseluruhan hanya berpusat pada
kemauan manusia (anthropocentris). Hal ini berbeda dengan karakteristik
keseimbangan ajaran Islam yang memadukan antara berpusat pada manusia
(anthropo-centris) dan berpusat pada Tuhan (theo-centris).
Tantangan Pendidikan Islam
Tantangan pendidikan Islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan
pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan
pertengahan. Baik secara internal maupun eksternal tantangan pendidikan
Islam di zaman klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara
psikologis dan ideologis lebih mudah diatasi. Secara internal ummat
Islam pada masa masa klasik masih fresh (segar). Masa kehidupan mereka
dengan sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah masih dekat,
dan semangat militansi dalam berjuang memajukan Islam juga masih amat
kuat. Sedangan secara eksternal, ummat Islam belum menghadapi ancaman
yang serius dari negara-negara lain, mengingat keadaan negara-negara
lain (Eropa dan Barat) masih belum bangkit dan maju seperti sekarang.
Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang selain menghadapi
pertarungan ideologi-ideologi besar dunia sebagaimana tersebut di atas,
juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai
besar (turbulance) atau tsunami. Menurut Daniel Bell, di era globalisasi
saat ini keadaan dunia ditandai oleh lima kecenderungan sebagai
berikut.
Pertama, kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan
terjadinya persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Karena, dunia
pendidikan menurut mereka juga termasuk yang dipergangkan, maka dunia
pendidikan saat ini juga dihadapkan pada logika bisnis. Munculnya konsep
pendidikan yang berbasis pada sistem dan infra-struktur, manajemen
berbasis mutu terpadu (TQM), interpreneur university dan lahirnya
Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak lain, karena
menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak hanya ditujukan untuk
mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang
salih, melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang economic
minded, dan penyelenggaraannya untuk mendapatkan keuntungan material
yang sebesar-besarnya.
Kedua, kecenderungan fragmentasi politik yang menyebabkan
terjadinya peningkatan tuntutan dan harapan dari masyarakat. Mereka
semakin membutuhkan perlakuan yang adil, demokratis, egaliter,
transparan, akuntabel, cepat, tepat dan profesional. Mereka ingin
dilayani dengan baik dan memuaskan. Kecenderungan ini terlihat dari
adanya pengelolaan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (shool
based manajemen), pemberian peluang kepada komite atau majelis
sekolah/madrasah untuk ikut dalam perumusan kebijakan dan program
pendidikan, pelayanan proses belajar mengajar yang lebih memberikan
peluang dan kebebasan kepada peserta didik, yaitu model belajar mengajar
yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan
(Paikem).
Ketiga, kecenderungan penggunaan teknologi tinggi (high
technologie) khususnya teknologi komunikasi dan informasi (TKI) seperti
komputer. Kehadiran TKI ini menyebabkan terjadinya tuntutan dari
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat, transparan,
tidak dibatasi waktu dan tempat. Teknologi tinggi ini juga telah masuk
ke dalam dunia pendidikan, seperti dalam pelayanan administrasi
pendidikan, keuangan, proses belajar mengajar. Melalui TIK ini para
peserta didik atau mahasiswa dapat melakukan pendaftaran kuliah atau
mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh (distance learning).
Sementara itu peran dan fungsi tenaga pendidik juga bergeser menjadi
semacam fasilitator, katalisator, motivator, dan dinamisator. Peran
pendidik saat ini tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
(agen of knowledge). Keadaan ini pada gilirannya mengharuskan adanya
model pengelolaan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan
teknologi (TIK).
Keempat, kecenderungan interdependensi
(kesaling-tergantungan), yaitu suatu keadaan di mana seseorang baru
dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain. Berbagai
siasat dan strategi yang dilakukan negara-negara maju untuk membuat
negara-negara berkembang bergantung kepadanya demikian terjadi secara
intensif. Berbagai kebijakan hegemoni politik seperti yang dilakukan
Amerika Serikat misalnya, tidak terlepas dari upaya menciptakan
ketergantungan negara sekutunya. Ketergantungan ini juga terjadi di
dunia pendidikan. Adanya badan akreditasi pendidikan baik pada tingkat
nasional maupun internasional, selain dimaksudkan untuk meningkatkan
mutu pendidikan, juga menunjukkan ketergantungan lembaga pendidikan
terhadap pengakuan dari pihak eksternal. Demikian pula munculnya
tuntutan dari masyarakat agar peserta didik memiliki keterampilan dan
pengalaman praktis, menyebabkan dunia pendidikan membutuhkan atau
tergantung pada peralatan praktikum dan magang. Selanjutnya kebutuhan
lulusan pendidikan terhadap lapangan pekerjaannya, menyebabkan ia
bergantung kepada kalangan pengguna lulusan.
Kelima, kecenderungan munculnya penjajahan baru dalam bidang
kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan terjadinya
pola pikir (mindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari yang
semula mereka belajar dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual,
moral, fisik dan psikisnya, berubah menjadi belajar untuk mendapatkan
pekerjaan dan penghasilan yang besar. Saat ini sebelum seseorang belajar
atau masuk kuliah misalnya, terlebih dahulu bertanya: nanti setelah
lulus bisa jadi apa? Dan berapa gajinya?. program-program studi yang
tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan sendirinya akan terpinggirkan atau tidak
diminati. Sedangkan program-program studi yang menawarkan pekerjaan dan
penghasilan yang baik bagi lulusannya akan sangat diminati. Tidak hanya
itu, kecenderungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan juga telah
menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu budaya yang
serba hedonistik, materialistik, rasional, ingin serba cepat, praktis,
pragmatis dan instans. Kecenderungan budaya yang demikian itu
menyebabkan ajaran agama yang bersifat normatif dan menjanjikan masa
depan yang baik (di akhirat) kurang diminati. Mereka menuntut ajaran
agama yang sesuai dengan budaya pop dan budaya urban. Dalam keadaan
demikian, tidaklah mengherankan jika mata pelajaran agama yang disajikan
secara normatif dan konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan
zaman. Keadaan ini mengharuskan para guru atau ahli agama untuk
melakukan reformulasi, reaktulisasi, dan kontekstualisasi terhadap
ajaran agama, sehingga ajaran agama tersebut akan terasa efektif dan
transformatif.
Penutup
Pendidikan Islam dengan beragam sistem dan tingkatannya dari waktu ke
waktu senantiasa mengalami tantangan. Berbagai kemajuan atau
ketertinggalan pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam sejarah,
antara lain disebabkan karena kemampuannya dalam menjawab berbagai
tantangan yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam saat
ini jauh lebih berat dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi
pendidikan Islam di masa lalu. Era globalisasi dengan berbagai
kecenderungannya sebagaimana tersebut di atas telah melahirkan berbagai
paradigma baru dalam dunia pendidikan. Visi, missi, tujuan, kurikulum,
proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, manajemen, sarana
prasarana, kelembagaan pendidikan dan lainnya kini tengah mengalami
perubahan besar.
Pendidikan Islam dengan pengalamannya yang panjang seharusnya dapat
memberikan jawaban yang tepat atas berbagai tantangan tersebut. Untuk
menjawab pertanyaan ini, pendidikan Islam membutuhkan sumber daya
manusia yang handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi,
manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur yang kuat, sumber dana
yang memadai, kemauan politik yang kuat, serta standar yang unggul.
Untuk dapat melakukan tugas tersebut pendidikan Islam membutuhkan unit
penelitian dan pengembangan (research and development) yang terus
berusaha meningkatkan dan pengembangkan pendidikan Islam. Hanya dengan
usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan itulah, pendidikan Islam
akan dapat merubah tantangan menjadi peluang
sumber : fdi.uinjkt.ac.id/.../tantangan_dan_peluang_pendidikan_islam_di_era_globalisasi
Home »
» TANTANGAN DAN PELUANG PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI
TANTANGAN DAN PELUANG PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI
Posted by Cahndeso
Posted on 18.55
with No comments
0 comments:
Posting Komentar