Home »
» Memberdayakan Mutu Pendidikan Islam
Memberdayakan Mutu Pendidikan Islam
Posted by Cahndeso
Posted on 04.41
with No comments
MUKADDIMAH
“Rendahkah mutu pendidikan kita ?” Jawabnya: ya dan tidak. Jika standar mutunya Nilai Ebtanas Murni (NEM), maka memang rendah. Bagaimana tidak, ketika NEM digunakan sebagai standar dengan nailai rata-rata 6,0 sebagai batas kelulusan, maka siswa SMU yang lulus tidak sampai 15 %. Dan bila nilai rata-rata itu diturunkan menjadi 5,0 sebagai batas kelulusan, maka yang lulus tidak sampai 25 % (Samani, 2003, 1).
Untuk komparasi berskala internasional kondisinya juga tidak jauh berbeda. Human Development Index (HDI) Indonesia berada pada peringkat 102 dari 106 negara yang disurvai, satu tingkat di bawah Vietnam. Survai The Political Economic Risk Colsultation (PERC) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 12 dari 12 negara yang disurvai, juga satu tingkat di bawah Vietnam (Samani, 2003, 1).
Bahkan ITB yang dianggap sebagai perguruan tinggi teknologi terbaik di Indonesia, ternyata hanya berada di peringkat ke 21 dari 39 perguruan tinggi teknologi di Asia dan Australia. Universitas Indonesia yang konon juga terbaik di negeri ini, ternyata hanya berada di peringkat ke 61 dari 77 universitas yang disurvai oleh Asiaweek (Samani, 2003, 1).
Namun sungguh aneh tatkala kita perhatikan prestasi individual bangsa kita. Sebagai contoh: mahasiswa Program D3 Politeknik Elektronika ITS mampu menjuarai kontes robotik internasional di Jepang, dengan mengalahkan saingan-saingannya dari seluruh dunia yang sebagian besarnya dari program S1. Siswa SMU kita juga mampu menjadi juara pada Olimpiade Fisika Internasional (IphO) juga bidang Biologi (IBO). Banyak pula pemuda Indonesia yang mampu meraih predikat cumlaude, summa cumlaude, bahkan distinguish ketika mengikuti studi di luar negeri (Samani, 2003, 1). Kita juga punya tokoh kaliber dunia, seperti Bung Karno, M. Natsir, Soedjatmoko, BJ. Habibie, Gus Dur, Nurcholish Madjid dan lain-lain.
Terjadi keadaan yang paradoksal antara prestasi individual dan kualitas institusional. Mengapa ketika di negara lain orang Indonesia mampu berprestasi baik, sementara di negeri sendiri tidak ? Dapat dikesankan, bahwa sebenarnya potensi bangsa Indonesia itu umumnya baik, tetapi mutu dan manajemen kelembagaan pendidikan kita yang masih rendah.
Kalau begitu pertanyaan lebih ekstrim dapat dimajukan: “Gagalkah sistem pendidikan kita ?” Ya, demikian jawaban Mendiknas Prof. H.A. Malik Fajar, M.Sc. dengan argumen bahwa sementara masjid-masjid dan berbagai majelis ta’lim menjamur subur, namun kejahatan dan kemerosotan moral juga marak di mana-mana. Maka menurutnya harus ada reformasi besar-besaran terhadap sistem pendidikan Indonesia. Dibentuklah sebuah tim evaluasi dan inovasi sistem pendidikan nasional dengan meninjau kembali Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 2 tahun 1989 untuk mengajukan rancangan perubahannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR.).
Penulis tidak sepenuhnya setuju dengan istilah gagal bagi pendidikan kita, sebab argumen Mendiknas tersebut akan goyah manakala diterapkan untuk menilai dakwah para rasul yang juga menjadikan umatnya terbelah dua, yakni kelompok orang taat yang minoritas, dan golongan orang bejat yang mayoritas. Lalu, gagalkah para rasul itu ? Memang mengajak kepada kebaikan itu lebih sulit dibanding mengajak ke kejahatan. Apakah yang berjamaah ke masjid ataupun yang mengikuti majelis ta‘lim itu juga yang melakukan kejahatan dan yang merosot moralnya ? Belum ada penelitian tentang hal ini, tetapi survai mengindikasikan, bahwa mereka yang tekun beribadah dan rajin ke pengajian bukanlah yang nakal dan melakukan kejahatan. Walaupun demikian, karena tuntutan zaman, penulis setuju dengan upaya Mendiknas tersebut, yakni perlunya dilakukan dekonstruksi terhadap sistem pendidikan nasional, termasuk di dalamnya pendidikan Islam dalam rangka “Memberdayakan Mutu Pendidikan Islam”.
KEKELIRUAN KITA
Sebelum melakukan dekonstruksi (atau apapun istilahnya) terhadap sistem pendidikan kita, terlebih dahulu diperlukan deteksi terhadap kemungkinan adanya kesalahan yang terjadi selama ini. Ada temuan menarik berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan kita, yaitu adanya “kekeliruan” yang dapat dianggap sebagai lampu kuning tanda bahaya bagi penyelenggara pendidikan, yakni:
Orientasi sekolah (School Oriented)
Benar bahwa sekolah (mencakup semua jenis dan jenjang, termasuk perguruan tinggi; selanjutnya cukup disebut sekolah) merupakan salah satu lembaga pendidikan yang cukup dominan bagi upaya pendewasaan anak. Namun apabila sudah ada anggapan orangtua, bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan andalan bagi anaknya, seraya mengabaikan lembaga pendidikan yang lain (yaitu keluarga dan masyarakat), maka berarti lampu kuning tanda bahaya sudah menyala. Hal ini terutama amat mungkin terjadi di kalangan orangtua karir, lantaran padatnya kesibukan sampai tidak sempat lagi memperhatikan keadaan anaknya sehari-hari dan malah menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah, lebih-lebih ditopang oleh mulai menjamurnya fullday school (sekolah sehari penuh dan bukan fullday education/ pendidikan sehari penuh) di beberapa kota. Jika ini yang terjadi, maka berarti orangtua tersebut hanya mendidik anaknya dengan sepertiga kesempatan yang ada dan secara tak disadari telah menyerahkan secara bulat duapertiga pendewasaan anaknya kepada “kemasa bodohan” keluarga dan lingkungan masyarakatnya. Padahal pembentukan kepribadian anak sebagian besar ditentukan oleh proses pendidikan yang berlangsung dalam keluarga dan di tengah masyarakat. Betapapun baiknya sekolah, jika tak didukung oleh suasana kondusif dalam keluarga dan masyarakat, apa yang diperoleh dari sekolah tersebut akan tak berarti apa-apa. Dalam perjalanan sejarah pendidikan para ulama, termasuk beberapa tokoh dunia yang berkepribadian tinggi, ternyata tidak diproduk oleh sekolah. Karenanya kita harus mengupayakan adanya usaha sinergis, terpadu dan seimbang antara sekolah, rumah/keluarga dan masyarakat dalam mendidik anak.
Orientasi kognitif (Cognitive Oriented)
Hampir semua sekolah yang ada saat ini mengutamakan pendekatan kecerdasan dan pendadaran intelektual (cognitive domain) sebagai sasaran pokok proses pembelajaran, seraya mengabaikan pembentukan watak dan sikap (affective domain) dan pelatihan keterampilan (conative/psychomotoric domain). Bahkan Roem Topatimasang menganggap sekolah sudah mati, karena tidak lagi berfungsi dan sanggup menggarap kepribadian manusia secara utuh. Justru sekolah saat ini hanya membentuk banyak orang berwatak setengah manusia, seperempat binatang dan seperempatnya lagi setan (Bahtiar, 2000, 105-107). Memang saat ini banyak orang cerdas lantaran bersekolah, tapi tak lagi banyak yang bermoral (beneh-Jawa).
Orientasi pekerjaan (Job Oriented)
Semua orang butuh pekerjaan untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya diperlukan sekolah/lembaga pendidikan yang melatih keterampilan bekerja secara baik (profesional). Namun jika pekerjaan sudah menjadi orientasi dalam proses pendidikan, berarti lampu kuning tanda bahaya sudah menyala. Sebab beberapa kemungkinan bisa terjadi, pertama: jika yang berorientasi pekerjaan adalah lembaga pendidikan sedang kenyataan menunjukkan, bahwa lapangan kerja makin menyempit, sementara pihak lembaga tetap saja memproduk lulusan calon pekerja tanpa melakukan survey dan analisis kebutuhan tenaga dan lapangan kerja, maka pastilah akan terjadi penumpukan pengangguran calon pekerja; kedua: bila yang berorientasi pekerjaan adalah orangtua dengan dalih agar anak dapat meneruskan profesi orangtuanya, sementara si anak sendiri kurang berminat membidangi pekerjaan tersebut, ini berarti akan memasukkan anak ke dalam neraka pendidikan, lantaran selama bersekolah/kuliah minatnya tidak tumbuh secara alami sesuai bakat-minatnya sendiri, melainkan tersiksa oleh keterpaksaan yang datang dari ambisi orangtuanya; dan ketiga: bila orientasi pekerjaan berasal dari lingkungan pergaulan, lalu secara massal mereka memasuki lembaga pendidikan kejuruan dengan obsesi akan mendapat pekerjaan setamatnya nanti, maka berarti membuka peluang pengangguran lebih besar lantaran menumpuknya satu jenis profesi yang justru akan menjadi arena persaingan antar suatu komunitas. Oleh karena itu, hendaknya pekerjaan jangan menjadi acuan orientasi yang dapat mengkristal menjadi sikap mental negatif-pasif, melainkan cukuplah sebagai kemungkinan alternatif saja.
Pembelajaran dini (Early Schooling)
Saat ini kita saksikan banyak taman kanak-kanak (TK) yang menawarkan kurikulum kompetitif dengan berbagai ragam mata pelajaran andalannya. Bahkan banyak bermunculan pondok anak-anak yang tak kalah getol mempopulerkan lembaga pendidikannya dengan berbagai tawaran menarik. Walhasil, demi memenangkan persaingan guna memperoleh murid sebanyak-banyaknya, dipromoisikanlah program pembelajaran yang membikin anak balita terkesan cerdas. Anehnya banyak orangtua tertarik dan memaksakan diri dan anaknya untuk disekolahkan ke TK favorite atau dipondokkan ke pondok pesantren anak yang terkenal. Dalam seminar nasional di IKIP Jakarta beberapa tahun yang lalu, para pakar pendidikan telah melontarkan kritikan terhadap TK yang memprogramkan pembelajaran bagi siswanya. Usia balita bukan untuk diajari pengetahuan, tapi seharusnya hanya diajak bermain dan bernyanyi yang di dalamnya ditanamkan nilai-nilai pendidikan. Sebab pembalajaran dini dapat merugikan anak itu sendiri di kemudian hari, bisa terjadi intellectual cramming, pendewasaan dini, atau bahkan kematian dini. Beberapa pakar pendidikan di Yogyakarta juga sempat gusar menanggapi adanya pesantren anak-anak, sebab secara tidak disadari telah terjadi pelanggaran hak asasi anak, yaitu hak untuk mendapatkan kasih sayang orang tua, terutama ibu. Belum lagi jika ternyata di pondok tersebut juga terjadi pembelajaran dini, maka akan terjadi kecemasan ganda bagi masa depan anak, yaitu generasi yang tumbuh dengan kurang kasih sayang dan mengalami intellectual cramming (lihat misalnya disertasi promosi doktor H. Imam Bawani, Prof. Hj. Siti Baroroh Baried dan Prof. HA. Zaini Dahlan). Hadis Nabi tentang perintah melatih anak umur tujuh tahun untuk salat (lihat Sunan Ab>i D>aw>ud, “Kit>ab a}s-}Sal>ah”, hadis nomor 417), atau keadaan Imam Syafi‘i yang dalam usia kanak-kanak (sebagian menduga usia sembilan tahun) sudah hafal al-Qur’an (asy-Syirb>a}siy, t.t., 123), tidak dapat dijadikan argumen pembenaran terjadinya pembelajaran dini, sebab salat yang dimaksud Nabi hanyalah sekedar latihan, lagi pula usia tujuh tahun memang sudah memasuki usia sekolah, bukan pembelajaran dini lagi. Sedang Imam Syafi‘i jika benar dalam usia sembilan tahun telah hafal al-Qur’an juga tidak berarti terjadi pembelajaran dini, sebab kemungkinan beliau mulai menghafalnya sejak usia tujuh tahun. Oleh karenanya kita jangan tergiur oleh keadaan anak kita yang terkesan cerdas di usia balita dengan memasukkannya ke TK favorite atau pondok anak-anak terkenal yang menerapkan pembelajaran dini. Berilah anak hak-haknya, yaitu hak kasih sayang, hak bermain, hak bergaul dan sebagainya.
Krisis keteladanan (Pattern Crisis)
Rasulullah SAW berhasil melakukan revolusi dakwah mengubah masyarakat dari keadaan jahiliah menjadi beradab hanya dalam waktu kurang dari 23 tahun, terutama ditentukan oleh keteladanan beliau (Haikal, 1979, 93-494). Dengan kata lain, beliau sukses mendidik umat adalah dengan metode keteladanan. Sekarang ini masih adakah pendidik (guru, orangtua atau tokoh masyarakat) yang dapat diteladani. Masih adakah guru yang sanggup digugu (diikuti) dan ditiru. Padahal pepatah mengatakan “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” dalam arti kalaupun ada contoh baik dari pendidik belum tentu murid mau mencontoh, apalagi tidak ada contoh, lebih-lebih jika contoh yang didapat dari pendidik justru contoh yang jelek, murid akan bertindak lebih jelek lagi. Bukan berita ganjil di telinga kita saat ini adanya orangtua selingkuh, guru berjudi, atau tokoh masyarakat korupsi dan tidakan amoral lainnya. Sementara tidak lagi banyak orangtua yang sanggup mengajak anaknya ke masjid, melainkan hanya menyuruh anaknya ke masjid; atau guru yang mampu mendampingi muridnya belajar di perpustakaan, yang dilakukan hanyalah memerintah mereka belajar di perpustakaan sementara sang guru asyik ngobrol atau bermain catur; ataupun tokoh masyarakat/muballigh yang amat piawai berceramah, namun kehidupan sehari-harinya tidak sesuai dengan isi ceramahnya. Oleh karenanya sebelum mengatakan, apalagi memerintahkan sesuatu, kita harus bertanya pada diri sendiri sudahkah kita melakukannya, atau setidaknya sanggupkah kita melaksanakannya. Atau kita sadarkan diri kita, bahwa apapun yang kita kata/lakukan, di belakang dan sekitar kita adalah anak didik kita yang sewaktu-waktu siap mencontohnya.
“Jual-beli” Gelar
Sungguh mencengangkan maraknya “jual-beli” gelar saat ini (yang paling marak dijual-belikan antara lain: Prof., DR. [Hc.], Ph.D., MBA, dan MM.). Benar-benar sudah menjadi virus pendidikan nasional paling berbahaya. Dan jangan lupa, bahwa ini sebenarnya termasuk salah satu strategi jitu kaum imperialis-neokolonialis untuk tetap dapat menguasai negara-negara “jajahan” mereka. Sebab dengan memperdagangkan gelar, banyak orang akan ambil jalan pintas mendapatkan apa yang selama ini sulit diperoleh, dengan cukup membayar sejumlah uang, sementara kemampuan sumberdaya mereka tetap rendah tak meningkat. Di pihak lain akan banyak orang yang semula getol memberdayakan diri dengan menempuh jenjang dan jalur pendidikan resmi dan mengeluarkan beaya besar, semakin melemah semangatnya karena jerih payah yang tak terhingga, ternyata gelar dan “gengsi” nya sama saja dengan yang diperoleh dengan cara membeli tanpa jerih payah. Atau gelar yang mulanya prestisius-bergengsi itu, jadi tak berharga lagi di mata masyarakat gara-gara inflasi dan pencemaran gelar yang dilakukan para pembeli gelar.
Dulu para pembeli gelar itu masih harus pergi ke luar negeri untuk membelinya di sana, sehingga para tetangga banyak yang tidak tahu, bahwa sebenarnya di luar negeri mereka hanya main-main dan jalan-jalan selama beberapa waktu, kemudian pulang membawa gelar (belian). Tapi saat ini bukan rahasia lagi dan bahkan tidak merupakan hal yang sulit mendapatkannya, sebab para penjual gelar itu datang ke sini, bahkan sebagian telah mempunyai agen dan penjaja di sini untuk memasarkannya kepada para peminat.
Gelar Doktor Honoris Causa (DR. Hc.) misalnya, dulu amat prestisius-bergengsi lantaran pemilik atau penerimanya benar-benar orang terpilih dan pemberinya amat selektif untuk menentukan siapa yang berhak dan layak menerimanya, karena masyarakat nantinya juga akan ikut menilai, sehingga taruhannya adalah kredibilitas lembaga pemberi. Bahkan saking selektifnya, gelar DR. (Hc) sempat lebih bergengsi daripada DR. regular (dengan studi khusus), karena ternyata pemilik/penerima gelar DR (Hc) saat itu adalah para tokoh linuwih (istimewa) di bidang mereka lantaran matang dalam pendadaran di kancah hidup praktis selama beberapa tahun dan umumnya memang lebih ahli dibanding DR. regular yang pematangannya baru tahap teoritis ditambah sedikit empiris. Sebut saja penerima DR (Hc) seperti: Soekarno, Muhammad Hatta, M. Natsir, HAMKA, Ruslan Abdulgani, Idham Khalid, Abdurrahman Wahid dll. adalah para tokoh puncak di bidang masing-masing.
Namun kini semuanya berubah, jangankan pejabat, penjahatpun dapat memperolehnya, jangankan kalangan elit, orang alitpun bisa, jangankan pengusaha buruhpun dapat, asal mau bayar sejumlah uang. Jadilah DR. (Hc) sekarang sama dengan kacang goreng, atau bahkan lebih murah (dari kacang goreng satu truck). Di mana-mana ada dan dapat diperoleh dengan mudah dan murah (menurut penuturan seorang teman cukup Rp. 1.000.000,- padahal untuk memperoleh gelar DR. [legal] saya habis sekitar Rp. 50.000.000,- belum lagi jerih-payahnya kuliah, ujian, penelitian, persyaratan TOEFL dll.)
Para penjual dan penjaja gelar itu berdalih ikut memberdayakan masyarakat. Bangsa manapun tidak ada dan tidak akan jaya-maju dengan banyaknya gelar kalau kualitasnya rendah. Bahkan akan makin terpuruk jika ternyata gelar bertebaran di mana-mana sementara penyandangnya berkualitas rendah, baik intelektual maupun moralnya. Para menerima gelar murahan, pastilah bermoral murahan pula, para penerima gelar aspal tentu bermental aspal juga. Jadi para penjual dan penjaja gelar itu hakekatnya adalah benalu, bahkan virus masyarakat yang merusak mentalitas dan moralitas bangsa hingga menjadi keropos (mau menipu diri sendiri), sombong (dengan gelar itu merasa gagah), dan licik ( memperdayai yang susngguh-sungguh meraihnya dengan susah-payah). Para penjual dan penjaja gelar sadar atau tidak, telah menjadi kaki tangan imperialis-neokolonialis yang memperbodoh rakyat sendiri demi beberapa keping dolar. Bagaimana tidak memperbodoh, sebab orang yang bodoh tetap bodoh lantaran tidak mau meningkatkan kualitas diri, sebab tokh telah merasa cukup dengan gelar yang dibelinya itu. Sementara yang sungguh-sungguh mau pinter semangatnya turun begitu membayangkan kasulitan dan beaya yang harus dikeluarkan, tapi akhirnya tohk sama gelarnya. Apapun alasannya para penjual dan penjaja gelar itu hanyalah pengejar uang, bromocorah intelektual dan kakitangan imperialis-neokolonialis. Mereka adalah pengkhianat bangsa!
Ternyata peminat gelar tersebut justru para pejabat, elit politik, dan pengusaha, serta aneh tapi nyata ada pula yang dari kalangan “ulama” (diragukan kewara’annya) dan perguruan tinggi. Mereka tidak malu, bahkan ada yang bangga dengan gelar kacang goreng itu. Jangan harap mereka malu, bahkan Rhama Aipama sang penerima gelar DR (Hc) paling gress sanggup berucap “Biarkan mereka bilang apa, gelar beli kek, mencuri kek atau apa , peduli amat, tokh ini hak saya”. Sementara si pendangdut Cici Paramida dengan agak malu-malu bilang ”Habis mau menolak dikirain sombong, tokh saya memperolehnya tidak beli, tak sepeserpun keluar uang”. Amat disayangkan dia (Cici) mau menerimanya, karena justru image masyarakat beradab jadi miring terhadapnya. Sadarkah mbak Cici, bahwa anda dijadikan figur iklan penjaja gelar, lantaran popularitas anda yang mendunia, sehingga wajar kalau anda tidak perlu membayar, malah seharusnya mereka yang membayar mbak Cici (sekali lagi hanya karena popularitas Cici, bukan lantaran sebagai penemu atau kreator di bidang musik).
Salut buat Ebiet G Ade yang menolak pemberian gelar DR (Hc) lantaran merasa belum berhak, walaupun secara obyektif semua penikmat musik harus mengakui, bahwa sebenarnya dia layak menerima gelar tersebut karena bukan saja sebagai penyanyi ulung, tetapi dia adalah penemu dan kreator suatu jenis musik khas yang telinga kita belum pernah mendengar sebelumnya. Juga salut buat Rita Sugiarto yang menyatakan: “Seandainya saya ditawari gelar itu tentu saya senang, tapi tidak akan saya terima sebab masih ada yang lebih berhak menerimanya”. Mereka berdua adalah pemusik kawakan, dan mereka berdualah representasi musisi bermoral yang tahu kapasitas dirinya.
Untuk diketahui, bahwa DR itu haruslah penemu, kreator atapun amat sangat pakar di bidangnya. Untuk bidang musik, yang layak dan saya yakin masyarakat akan menganggukkan kepala manakala yang menerima gelar DR (Hc) adalah Rhoma Irama, Rinto Harahap, A. Rianto dan/atau Ebiet G Ade. Merekalah kreator musik, bukan sekedar pelaku apalagi hanya pelantun lagu-lagu daur ulang ciptaan orang lain tempo dulu.
Sekarang siapa yang harus malu, kita atau mereka para penerima ? Kitalah yang harus malu selagi kita masih ingin disebut masyarakat beradab, dengan cara: pertama, kampanye anti gelar. Kita yang punya gelar tak usah memakainya. Tokh orang akan tahu dan akan memilih, mana yang kapabel dan akseptabel; mana pula yang bebal dan bikin sebal; atau kedua, kampanye riwayat hidup. Semua orang yang memiliki gelar harus berani menjelaskan riwayat hidupnya (riwayat pendidikan khususnya) di depan mereka yang gelar itu dipertontonkan. Dengan demikian akan ketahuan, gelar itu asah (asli dan sah) atau aspal (asli tapi palsu).
Kita menghimbau kepada yang berwenang (terutama Mendiknas) untuk segera mengatasi masalah ini. Bangsa kita terancam bahaya, sudah letih didera krisis ekonomi, ditambah lagi inflasi gelar yang hakekatnya adalah tamparan krisis intelektual dan moral sekaligus.
Kita juga menghimbau kepada masyarakat beradab, janganlah diri dan bangsa ini kita kotori dengan gelar aspal atau gelar kacang goreng. Marilah kita hargai mereka yang benar-benar berprestasi, dengan atau tanpa gelar. Marilah kita hormati mereka yang memang pantas dan berhak memperolenh gelar dan tidak menyainginya dengan beli gelar murahan.
Kalau masih bisa dihimbau, kita juga menghimbau kepada para penjual, penjaja dan pemburu gelar, sadarlah bahwa apa yang anda lakukan sangat merugikan dunia intelektual, membahayakan kehidupan berbangsa, bahkan meracuni kemanusiaan yang beradab. Nantinya akan ketahuan, bahwa nilai diri kita tidak berada di gelar yang menempel tapi di prestasi yang kita capai. Kapada para penghobi gelar, sadarilah bahwa dengan menerima gelar aspal murahan itu citra anda tidak akan naik tapi malah turun, dan bahkan akan hancur oleh seleksi alam (sunnatullah).
“DEKONSTRUKSI” SISTEM PENDIDIKAN
Mempertimbangkan antara lain indikator-indikator negatif pelaksanaan pendidikan kita selama ini, seharusnya para penanggung jawab dan pelaku pendidikan berani melangkah cepat untuk merenovasi, mereformasi, bahkan mendekonstruksi sistem pendidikan nasional, terutama pendidikan Islam, dalam hal-hal yang berkait dengan:
Tujuan
Rumusan tujuan pendidikan yang selama ini indah redaksinya, muluk-muluk obsesinya (UUSPN, 2002), sehingga sulit (kalau tidak dikatakan mustahil) pencapaiannya, harus segera disederhanakan agar mudah difahami dan relatif memungkinkan untuk direalisasi, yaitu mengupayakan agar pihak terdidik beriman, bertaqwa dan mempunyai keahlian atau keterampilan. Dengan demikian akan terjadi penekanan terhadap ranah afektif plus kognitif, atau afektif plus konatif. Dan jangan terjadi pembentukan kepribadian yang hanya bermuatan kognitif plus konatif, sebagaimana umumnya produk pendidikan kita selama ini. Oleh karenanya sekolah harus mengembalikan fungsinya untuk secara integral menangani ketiga ranah kepribadian manusia, yaitu afektif sebagai prioritas utama, kognitif dan/atau konatif agar terbentuk manusia seutuhnya yang beriman, bertaqwa dan berkeahlian / keterampilan.
Kurikulum
Tujuan yang muluk-muluk berakibat gemuknya kurikulum (dalam arti sempit, yaitu bahan ajar) karena terlalu banyak yang ingin didapat. Tetapi ternyata justru sebaliknya, terlalu banyak murid yang tidak dapat apa-apa untuk bekal menghadapi kehidupan, dengan kata lain banyak murid setamat sekolah tidak memiliki keterampilan hidup. Maka kurikulum ke depan harus ramping, tidak ada titipan di luar tujuan dan bakat-minat murid, serta berkesinambungan antar jenjang pendidikan. Contoh di perguruan tinggi, matakuliah ISD, IBD, IAD, pancasila dan lain-lain merupakan matakuliah titipan yang tak memberi kontribusi berarti bagi pencapaian tujuan ramping tersebut. Tentang pancasila misalnya, yakinlah bahwa orang yang agamis pasti pancasilais, tetapi tidak semua yang pancasilais pasti agamis. Diperlukan juga kordinasi antar jenjang, sehingga tak terjadi pengulangan berlebihan seperti yang terjadi selama ini. Sekedar gambaran, matapelajaran thaharah diberikan di semua jenjang pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal ini jelas tidak efisien, membosankan dan menyebabkan bab-bab fiqih tak pernah tuntas dipelajari.
Metode
Tujuan dan kurikulum yang baik belum bisa menjamin terpenuhinya kebutuhan murid dan sampainya misi penddikan, bila tidak didukung oleh metode yang sesuai. Perlu dipertimbangkan kemungkinan dipergunakannya secara adaptif metode Quantum Learning (interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya)dan Quantum Teaching (penggubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar momen belajar untuk mengubah kemampuan dan bakat alamiah murid menjadi cahaya yang akan bermanfaat bagi mereka sendiri dan bagi orang lain) dalam pembelajaran “agama” Islam. Metode tersebut terbukti sukses dalam pembelajaran mata pelajaran “umum” di berbagai negara selama kurun waktu duapuluh tahun terakhir.
Secara garis besar kiat-kiat untuk Quantum Learning adalah: temukan satu manfaat, berikan pujian positif untuk diri anda, ciptakan tempat yang aman untuk bekerja, sadarilah cara belajar anda, gunakan peta pikiran dan catatan: TS, anggaplah menulis sebagai hal yang menyenangkan, ketahuilah kecepatan membaca anda, berpikirlah secara kreatif dalam segala situasi, dan ingatlah untuk mengingat (Bobbi DePorter & Mike Hernacki, 2000, 339).
Sadangkan asas utama Quantum Teaching adalah: bawalah dunia mereka ke dunia kita, antarkan dunia kita ke dunia mereka; dengan lima prinsip, yakni: segalanya berbicara, segalanya bertujuan, pengalaman sebelum pemberian nama, akui setiap usaha, dan jika layak dipelajari maka layak pula dirayakan. Adapun Kerangka Pembelajaran Quantum Teaching adalah TANDUR (tumbuhkan, alami, namai, demonstrasikan, ulangi dan rayakan) (Bobbi DePorter et all., 2002, 6-10).
Dengan metode ini diharapkan akan diperoleh keseimbangan peran antara otak kiri (potensi IQ, logika, matematika, tatabahasa dan evaluasi) dengan otak kanan (potensi EQ dan SQ, kreatifitas, imajinasi, seni dan musik) yang selama ini sebagian besar manusia hanya mengandalkan peran otak kiri dan kurang memanfaatkan potensi otak kanan.
Sebagaimana diketahui, bahwa aktifitas otak terbagi dalam 4 gelombang, yaitu:
Gelombang Beta: saat terjaga dan bekerja normal, berfikir logis
Gelombang Alfa: saat rileks
Gelombang Teta: saat munajat dan inspirasi kreatif
Gelombang Delta: saat tidur
Untuk diketahui, bahwa sebagian besar manusia modern sangat dominan menggunakan gelombang Beta (12 % potensi otak), padahal karya besar sering terjadi dalam situasi Alfa dan Teta. Sebut saja Archimedes yang meloncat dari bak mandi dan berlari keliling kota dengan telanjang bulat sambil berucap “eureka” (kutemukan) lantaran amat senang telah menemukan solusi berat jenis.Hal tersebut dilakukan karena dia sedang didominasi oleh gelombang Alfa dan/atau Teta, sedangkan gelombang Beta tidak berfungsi/aktif. Sayang situasi Alfa dan Teta sering tertekan akibat emosi negatif, trauma masa lalu, rendah diri, kepercayaan yang membatasi, atau kurang fokus. Namun hal ini dapat diatasi dengan latihan.
Murid
Agar semua murid (untuk semua jenjang, termasuk mahasiswa) terhantarkan dengan mudah dan cepat sampai ke tujuan yang inging dicapai, maka harus dirintiskan jalan yang tidak berliku-liku dan berbelit-belit menuju kepadanya, dengan cara menyeleksi mereka atas dasar bakat-minat dan bukan lagi atas dasar “ujian tulis kognitif” atau bahkan “tanpa seleksi”. Untuk itu tentunya dibutuhkan perangkat jitu dan instrumen akurat dari para pakar penjaring bakat-minat. Oleh karenanya di manapun dan apapun jenis lembaga pendidikan, haruslah disesuaikan dan diserahkan kepada bakat-minat murid itu sendiri, jangan lagi ada pemaksaan kepada mereka dari pihak manapun.
Guru
Semodern apapun peradaban manusia dan secanggih apapun kemajuan teknologi, guru tetap diperlukan dan bahkan memegang peran penting dalam interaksi kependidikan. Namun untuk guru masa depan tidak bisa asal tunjuk dan asal mau (sehingga kucing-kucingpun diraupi), tetapi harus profesional dalam arti menguasai bidang studi tertentu (bukan guru yang “serba bisa”, yang sebenarnya berarti pula “serba tidak bisa” karena setengah-setengah) dan memahami metodologi pembelajaran sesuai bidang studinya. Karenanya persyaratan untuk menjadi guru haruslah diperketat, termasuk jenjang pendidikannya harus sesuai standar keilmuan dan kependidikan. Konsekuensi dari beratnya persyaratan untuk menjadi guru, maka gaji harus memadai menurut hukum ekonomi, sehingga tidak ada lagi guru yang berprofesi ganda karena alasan ekonomi.
Pembeayaan
Alasan paling sering dimajukan dan juga paling dapat diterima dan dimaklumi, serta paling sulit dicarikan solusinya, sebagai sebab utama terkendalanya pendidikan adalah kurangnya sumber dana. Namun jika kita mau berkaca dan mampu melakukan apa yang telah dilakukan negara-negara yang telah maju bidang pendidikannya, tentu secercah harapan dapat diwujudkan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa lembaga pendidikan yang maju di bebrapa negara Barat dan Arab adalah lembaga pendidikan swasta (Harvard University di AS dan Jami’ah al-Azhar asy-Syarif di Mesir sebagai contohnya). Mengapa demikian ? Karena mereka tidak mengandalkan SPP sebagai sumber pendanaannya, melainkan menghimpun donatur peduli pendidikan (di Barat) dan membudayakan wakaf di kalangan umat Islam, infaq khusus pendidikan dan menggalakkan zakat (di Arab). Sulit memang, namun nyatanya mereka bisa, sehingga kesadaran wakaf di kalangan masyarakat Arab telah begitu tinggi, bahkan ada common sense bahwa mereka malu mati sebelum wakaf (tepatnya malu kalau sampai menjelang ajal belum wakaf). Karenanya wajar jika di hampir semua negara Arab ada Kementerian Wakaf dan Haji. Memasuki era otonomi pendidikan, lembaga-lembaga pendidikan Islam (terutama IAIN dan STAIN) mutlak memikirkan hal ini.
Kelembagaan
Dalam berbagai seminar direkomendasikan adanya pendidikan berasrama (lembaga pendidikan mengadakan asrama untuk peserta didik), pesantren terpadu (pesantren menyelenggarakan lembaga pendidikan “umum”) ataupun pesantren masyarakat (lembaga pendidikan melibatkan masyarakat secara aktif dalam wujud menampung peserta didik dengan ketentuan-ketentuan yang disepakati semua pihak), sebagai lembaga pendidikan paling ideal pada era globalisasi. Dengan demikian kontrol perilaku lebih dapat dilakukan, sehingga tidak hanya berlangsung pengajaran tapi juga pendidikan sehari penuh. Sesuai tujuan dan kurikulum yang diusulkan di atas, mestinya diupayakan makin banyak sekolah kejuruan dan institut yang terencana dan terukur sesuai kebutuhan, tidak malah yang institut mengubah diri menjadi universitas.
Evaluasi
Selama ini prestasi peserta didik selalu diukur dengan hasil “ujian tulis kognitif”, atau dengan kata lain andalan penilaian terhadap peserta didik adalah hasil evaluasi kecerdasan, sehingga tidak aneh bila ada murid yang nilai pelajaran agamanya tinggi tapi tidak shalat atau bahkan nakal, karena secara intelektual (kognitif) dia memang cerdas, namun secara moral (afektif) sebaliknya. Oleh karena itu, pola evaluasi juga harus diubah dengan mengurangi evaluasi kecerdasan, dan lebih menekankan pada evaluasi proses dan prilaku.
KHULASHAH
Upaya “Memberdayakan Mutu Pendidikan Islam” terasa sangat urgen. Karenanya, sistem pendidikan kita harus didekonstruksi, sebab dalam pelaksanaannya, di samping sebagian sudah tak sesuai dengan tuntutan zaman, juga sebagiannya lagi malah terjadi kekeliruan, antara lain sekolah sentris, kognitif oriented, terpaku lapangan kerja, pembelajaran dini, krisis keteladanan dan lain-lain.
Dekonstruksi dapat dilakukan dengan mengubah orientasi beberapa faktor pendidikan, antara lain dengan penegasan tujuan, perampingan kurikulum, kemungkinan penggunaan metode Quantum, seleksi berdasarkan bakat-minat murid, meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan guru, menggali sumber dana alternatif berupa pembudayaan wakaf, infak dan zakat, penyelenggaraan pendidikan berasrama dalam berbagai bentuknya, menggalakkan sekolah kejuruan dan institut yang terencana dan terukur, serta mengubah pola evaluasi.
Demikianlah kristalisasi pemikiran yang dapat disampaikan dalam majelis terhormat ini. Semoga ada manfaatnya. Aamien !
Sumber :
http://rektor.unipdu.ac.id/memberdayakan-mutu-pendidikan-islam/
0 comments:
Posting Komentar